Lo pasti pernah ngerasain. Ngejar project brand global berbulan-bulan, presentation mati-matian, hasil kerja bagus. Tapi tau-tau mereka milih agency dari Dubai atau Tehran. Padahal harganya lebih mahal dari kita.
Awalnya gue pikir ini masalah budget atau koneksi. Tapi setelah gue amatin selama 2 tahun—dan ngobrol sama beberapa decision maker global—gue baru nyadar. Kita kalah bukan di harga atau skill teknis.
Kita kalah di hal yang lebih subtle. Hal yang bahkan jarang kita anggap penting.
1. Mereka Jual “Cultural Bridge”, Bukan Iklan
Kita biasanya datang ke client global dengan portofolio karya terbaik. “Lihat nih, engagement rate kita 5x rata-rata industri.” Tapi agen Persia datang dengan approach beda.
Mereka bilang: “Kami paham bagaimana budaya Timur Tengah mempengaruhi perilaku konsumen Asia Tenggara. Dan kami bisa jembatani itu.”
Studi Kasus: Sebuah brand luxury Eropa mau ekspansi ke Indonesia. Agency lokal nawarin “digital campaign yang viral”. Agency Persia nawarin “cultural assimilation strategy” – termasuk analisis nilai-nilai kesopanan Indonesia yang harus diadopsi brand itu, plus riset mendalam tentang makna ‘luxury’ bagi kelas menengah Jakarta.
Client milih yang mana? Yang kedua. Karena solves deeper concern.
Data Point: 78% decision maker global bilang “cultural understanding” lebih penting daripada “creative excellence” ketika pilih agency untuk market baru.
Common Mistake: Terlalu fokus jual “apa yang kita bisa”, bukan “apa yang client global actually butuh”. Mereka butuh partner yang bisa bantu mereka navigate cultural complexity.
2. Strategic Patience – Main Game 5 Tahun, Bukan 5 Bulan
Kita biasanya mikir quarterly. “Gimana caranya kasih hasil cepat ke client biar renew kontrak.” Tapi agen Persia punya mindset beda. Mereka mau bangun relationship untuk jangka panjang.
Mereka berani kasih consultation gratis selama 3 bulan pertama. Mereka invest waktu buat truly understand business client. Bahkan kadang nolak project kecil dengan bilang, “Ini belum saatnya yang tepat untuk brand Anda. Mari kita siapkan dulu foundation-nya.”
Agency lokal mana yang berani nolak project? Almost none.
Tips Practical: Besok ketemu prospect global, jangan langsung jual package. Tanya dulu: “Apa 3 tantangan terbesar Anda di market Indonesia?” Lalu kasih 3 insight cultural gratis. Position yourself sebagai cultural advisor dulu, baru sebagai executor.
3. Mereka Bangun “Global Village” dengan Client
Pernah perhatiin gak? Agency Persia itu punya network global yang solid. Mereka bisa connect client dengan partner di 15 negara berbeda. Mereka bukan cuma agency—tapi gateway.
Studi Kasus: Sebuah brand skincare Prancis pilih agency Tehran karena mereka bisa sekaligus handle Middle East dan Southeast Asia. Plus, founder agency-nya personally kenal sama key opinion leaders di kedua region. Something that takes years to build.
Agency lokal kita? Masih sibuk berebut client di Indonesia.
Common Mistake: Terlalu fokus bangun network lokal. Padahal client global butuh partner yang punya koneksi internasional. Mereka mau efficiency—satu agency yang handle multiple markets.
Yang bisa kita tiru: Mulai bangun alliance dengan agency dari negara lain. Bukan sebagai kompetitor, tapi sebagai partner. Tawarkan “one-stop solution” untuk brand yang mau masuk Southeast Asia.
Kesimpulan: Kita Kalah Bukan Karena Tidak Bekerja Keras
Tapi karena bekerja keras pada hal yang salah. Agen Persia unggul karena mereka paham bahwa di level global, yang dijual bukan lagi jasa kreatif. Tapi wisdom.
Mereka jual confidence. Mereka jual access. Mereka jual perspektif yang kita sebagai lokal sometimes take for granted.
Jadi, masih mau tetap jadi agency lokal yang cuma jual jasa bikin iklan? Atau mau transform jadi cultural bridge yang dibutuhkan brand global?
Pilihannya ada di kita. Bisa mulai dengan hal sederhana: stop calling ourselves “digital agency”. Start calling ourselves “cultural strategy firm”.
Bedanya? Satu dijual per project. Satunya lagi dijual sebagai investment.
